Kehancuran sedang mengintip di depan pintu setiap rumah penduduk Eropa pada pertengahan abad ke 14. Alam seolah-olah menghembuskan angin kematian dan memburu semua orang pada saat itu tanpa mengenal usia. Penduduk Eropa berjuang untuk menghindari wabah tetapi kematian tetap menjemput mereka. Dalam kebingungan, mereka menuduh kaum minoritas atas segala kehancuran yang mereka hadapi. Umat Islam dan Yahudi diburu dan dibunuh. Para biarawan, peziarah bahkan pengemis jalanan tidak lepas dari tangan dingin mereka.
“alam telah memberontak dan kematian menggerogoti mereka, hitam dan kelam”
The Black Death atau maut hitam merupakan suatu pandemi hebat dan mungkin yang terkejam dalam sejarah manusia. Pandemi ini melanda Eropa pada pertengahan abad ke 14 (1347-1351). Populasi penduduk Eropa berkurang secara drastis karena wabah ini membunuh kurang lebih sepertiga hingga dua pertiga populasi yang ada pada waktu itu. Pada saat itu, bukan hanya Eropa yang mengalami pandemi besar tetapi juga Asia dan Timur Tengah. Eropa merupakan bagian dari pandemi multi-regional. Jika dikalkulasikan, jumlah manusia yang tewas akibat pandemi ini adalah 200 juta nyawa.
Maut hitam mengubah struktur sosial di Eropa dan Gereja Katolik Roma, institusi keagamaan yang paling berpengaruh pada saat itu sangat terpukul oleh wabah ini. Penduduk minoritas menjadi korban perburuan penduduk mayoritas dengan tuduhan menyebabkan wabah ini menyebar. Cara hidup masyarakat Eropa yang berprinsip hidup untuk hari ini memperburuk situasi.
Awalnya, pandemi ini disebut sebagai “Mortalitas Besar” (Great Mortality). Nama maut hitam (Black Death) diambil dari gejala khas penyakit ini, yang disebut acral necrosis, dimana kulit penderita menghitam karena pendarahan subdermal. Catatan sejarah telah membuat sebagian besar ilmuwan meyakini bahwa Maut Hitam adalah suatu serangan wabah bubonik yang disebabkan bakteri Yersinia Pestis dan disebarkan oleh lalat dengan bantuan hewan seperti tikus rumah (Rattus rattus), walaupun ada juga kalangan yang menyangsikan kebenaran hal ini.
Ada tiga varian penyebaran wabah ini. Penyebaran paling umum adalah lewat varian pes yang berasal dari pembengkakan kelenjar getah bening (Bubo) yang muncul di leher korban, ketiak ataupun pangkal paha. Penyakit ini tumbuh dengan berbagai ukuran, ada yang berukuran sebesar telur hingga sebesar apel. Meskipun beberapa orang selamat dari penderitaan, wabah penyakit ini biasanya hanya memberikan harapan hidup satu minggu pada korban. Penyebaran wabah Pes bermula dari seranggga (umumnya kutu) yang terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan pengerat termasuk diantaranya tikus dan marmot yang terinfeksi wabah. Setelah tikus tersebut mati, kutu menggigit manusia dan menyebarkannya kepada manusia. Varian kedua merupakan wabah Pneumonia yang menyerang sistem pernapasan dan disebarkan hanya dengan menghirup udara yang dihembuskan melalui korban. Wabah penyakit ini jauh lebih mematikan dibanding wabah Pes, harapan hidup hanya dapat diukur dalam satu atau dua hari. Varian ketiga merupakan penularan wabah septicemia, wabah ini menyerang sistem darah. Berbeda dengan kedua wabah lainnya, varian ini dapat menyebar melalui gigitan serangga atau hewan pengerat yang telah terinfeksi, atau melalui kontak dengan manusia yang telah terinfeksi lainnya.
Tingkat kematian diakibatkan oleh wabah ini berbeda di setiap daerah tergantung sumbernya. Wabah ini telah merenggut sekitar 40% populasi masyarakat Mesir pada saat itu. Setengah dari populasi penduduk Paris meninggal, Florence Italia kehilangan populasinya dari 110 ribu orang pada tahun 1338, menjadi sekitar 50 ribu orang pada tahun 1351. Kurang lebih 60% penduduk Hamburg dan Bremen meninggal. Sebelum tahun 1350, terdapat sekitar 170.000 penduduk di Jerman, dan angka ini berkurang hampir 40.000 pada 1450.
Penyebaran wabah yang cepat menyebabkan sulitnya ditemukan penangkal untuk wabah ini. Para biarawan dan rahib merupakan salah satu korban dengan tingkat kematian tertinggi karena mereka melakukan kontak langsung dengan penduduk yang terinfeksi ketika sedang merawat.
Giovanni Boccaccio, seorang penulis asal Italia hidup melalui wabah karena melanda kota Florence pada tahun 1348. Pengalaman ini mengilhaminya untuk menulis “The Decameron” kisah tujuh pria dan tiga wanita yang melarikan diri dari wabah penyakit dengan melarikan diri ke sebuah villa di luar kota. Cerita Giovanni sangat menggambarkan keadaan abad pertengahan di Eropa pada waktu itu.
Masing-masing warga menghindari warga yang lain, hampir tidak ada tetangga yang saling berhubungan, saudara tidak pernah menghubungi atau hampir tidak pernah mengunjungi satu sama lain. Wabah penyakit ini lebih buruk dan luar biasa hingga menyebabkan ayah dan ibu menolak untuk menjenguk anak-anak mereka yang terjangkit wabah, seolah-olah mereka tidak miliki anak.
Banyak pria dan wanita jatuh sakit, dibiarkan tanpa perawatan apapun kecuali dari rasa sosial teman (tapi hanya sedikit), meskipun banyak yang mencoba membayar dengan upah tinggi tapi tidak memiliki banyak kesempatan memperolehnya.
Nasib yang sangat menyedihkan menimpa kalangan kelas bawah dan sebagian besar kelas menengah. Kebanyakan dari mereka tetap tinggal di rumah, hidup dengan kemiskinan dan harapan keselamatan, ribuan orang jatuh sakit. Mereka tidak mendapatkan perawatan dan perhatian, hampir semua penderita wabah penyakit meninggal. Banyak yang mengakhiri hidup di jalan-jalan malam hari dan siang hari, meninggal di rumah-rumah mereka yang diketahui mati karena tetangga mencium bau mayat membusuk. Mereka yang lebih peduli tergerak oleh amal agama akan menyingkirkan mayat-mayat yang membusuk. Dengan bantuan porter, mereka membawa mayat (yang terkena wabah penyakit) keluar dari rumah dan meletakkannya di pintu.
Beberapa fakta tentang The Black Death:
1. Meskipun periode yang dikenal sebagai Black Death atau maut hitam berakhir pada tahun 1351, wabah ini terus melanda Eropa dalam beberapa tahun hingga akhir abad ke -15.
2. Black Death merupakan pandemi kedua di abad pertengahan, setelah wabah Justinian di abad ke enam, namun tidak menghancurkan selayaknya wabah Black Death.
3. Korban pertama yang tercatat meninggal pada tahun 1338 dan 1339 di daerah sekitar danau Issyk Kul (Danau Baikal) di Russia. Pada nisannya tertulis, ‘pada tahun kelinci (1339), ini adalah makam Kutluk. Dia meninggal karena wabah bersama istrinya bernama, Magnu-Kelka.
4. Selama pengepungan kota Genoa di Kaffa oleh Tatar pada tahun 1347, penduduk kota itu dilaporkan terinfeksi wabah ketika tentara Tatar melemparkan mayat yang sudah terinfeksi ke tengah-tengah kota.
5. Banyak yang percaya wabah itu disebabkan oleh hukuman Tuhan atas dosa-dosa manusia. Bahkan ada yang percaya bahwa wabah ini disebabkan oleh kantong udara yang buruk akibat gempa bumi atau ketidakselarasan Saturnus, Jupiter dan Mars di tingkat ke 40 dari Aquarius pada tanggal 20 Maret 1345.
6. Banyak dokter pada saat itu percaya bahwa wabah mengeluarkan bau busuk. Akibatnya, beberapa pengobatan penyakit ini dilakukan dengan menggunakan kotoran dan bahan-bahan lain yang lebih memungkinkan menyebabkan penyakit ini semakin menyebar.
7. Orang-orang pada saat itu juga percaya bahwa cara untuk menangkal penyakit ini adalah dengan menghindari pikiran buruk, minum anggur yang baik, menghindari makan buah, menempatkan ramuan wangi dalam minuman, menghindari birahi, tidak merugikan orang miskin, makan minum secukupnya dan menjaga rumah tangga.
8. Gherardo, adik dari Petrarch, humanis terkenal dan seorang biarawan di biara Montriuex, dan anjingnya adalah satu-satunya makhluk yang selamat dari wabah di biaranya. Dia menguburkan 34 biarawan lainnya seorang diri.
9. Dari 140 persaudaraan Dominika di Montpellier, hanya tujuh yang selamat.
10. Sebelum wabah, musik berlimpah dan suasana ceria tetapi berubah 180 derajat ketika wabah menyebar. Bentuk seni menggambarkan penderitaan pada saat itu.

No comments:
Post a Comment